Menu

Percik Kata Nieke

Senin, 15 Juli 2013

Happy Birthday, Malala!


ngintip isi blog Malala


Gadis ini namanya Malala Yousafzai. Baru aja merayakan ulang tahunnya yang ke-16, pada 12 Juli kemarin. Tepat di hari ultahnya, di usianya yang masih belia, dia sudah berpidato di Majelis Umum PBB. Keren ya!

Ini kutipan pidatonya:

"...Ada yang mengatakan pulpen lebih perkasa dari pedang. Itu benar. Para ekstremis lebih takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan menakutkan mereka. Mereka takut pada perempuan, kekuatan suara perempuan menakutkan mereka....

Sabtu, 13 Juli 2013

Have you ever regret of something?

Beberapa kali orang pernah nanya, pernahkah saya menyesali sesuatu di masa lalu. Saya--biasanya--selalu menjawab TIDAK dengan sangat yakin. Sebab, saya yakin, sesuatu itu selalu mendatangkan kebaikan. Dan bahwa Tuhan mampu mendatangkan kebaikan atas hal-hal buruk yang kita alami (Roma 8:28).

Hidup itu seperti bawang, bisa membuat kita menangis kala teriris.  Tapi menyehatkan kala dimakan.






Tapi belakangan ini, atas beberapa peristiwa yang terjadi. Mendadak saya menyesali beberapa hal yang tidak saya ambil di masa lalu.

Rabu, 20 Juli 2011

Dunia Anak


Keindahan berbicara dengan anak-anak adalah imajinasinya.
Kesalahan orang dewasa adalah buru-buru meralat imajinasi anak dengan logika.

Selasa, 19 Juli 2011

Menertawakan Versus Merayakan Keunikan





Perempuan itu jelita, sungguh. Semampai, standar supermodel, langsing, rambut berombak tergerai. Dia pemenang kontes ratu kecantikan di Indonesia. Sebut saja namanya Cinderella.

Aku membaca kisahnya di koran di meja kubikelku pagi ini. Siapa menyangka, perempuan yang pernah mewakili kontes ratu kecantikan sejagad ini, semasa kecilnya pernah menjadi korban "bullying." Omong-omong, aku belum menemukan istilah "bullying" yang tepat dalam Bahasa. Tapi, artinya kira-kira perbuatan tidak menyenangkan secara fisik dan mental oleh sekelompok orang tertentu terhadap orang lain. Korban biasanya orang yang dianggap "berbeda" dengan orang lain pada umumnya.

Jadi begitulah, supermodel ini mendapat julukan "gendut". Ia tersiksa dengan label "gendut" sampai-sampai berusaha kurus dengan cara apa saja. Hingga ia mengidap anoreksia. Seiring usia, untungnya, ia menyadari citra dirinya: ia berharga. Kalau tidak, tentu tak bakal jadi ratu kecantikan. Mungkin, kamu pernah juga mengalami hal yang sama. Atau, kamu lagi di-"bully"? Atau bisa juga, kamu justru menjadi pelaku "bully"? Kalau iya, simak ini baik-baik.


Rabu, 22 Juni 2011

Ada Cerita di Kereta


Perempuan berkerudung itu menghempaskan tas kecilnya di atas kursi kereta ekonomi AC jurusan Depok-Stasiun Manggarai, Jakarta. Pukul delapan pagi, penumpang berjejalan. Ule, nama perempuan itu, bersyukur masih mendapatkan tempat duduk.

Tak lama, kuda besi itu berlari menuju jantung ibukota. Inilah ritual penduduk pinggiran kota yang mengadu nasib. Sepagi apapun Ule berangkat, kereta tetap penuh. Gerbong baru sela ketika jam masuk kantor terlewati. Ule tak punya pilihan. Ia memburu waktu, ada rapat awal pekan ini di kantor.

Ule baru saja akan mengatupkan matanya. Tidurnya semalam serasa masih kurang. Kepalanya sudah terantuk-antuk ke bawah. Pelupuk matanya seperti membawa kantong berisi penuh. Nyaris ia melayang ke alam mimpi.

"Dasar anak tidak tahu diri! Tahukah kamu, aku ini susah mengandung kamu. Tapi apa balasanmu?" Suara seorang perempuan yang naik darah.

Sekejap kantuk Ule hilang. Matanya terang benderang. Ia menengok ke arah lolongan amarah berasal. Seorang perempuan setengah baya dan anak perempuannya yang berusia 20 tahunan.

"Kau memang anak durhaka! Susah-susah aku menyekolahkanmu. Utang-utangmu itu aku juga yang bayar. Tapi apa balasanmu hah?" Gejolak perempuan setengah baya itu belum mereda.

Keduanya tak mempedulikan seisi gerbong menatap mereka.

"Kau hamil di luar nikah juga aku yang tanggung malu dan biayanya. Tapi begini balasanmu pada Ibumu?" Ia menjerit.

Anak perempuannya melengos menatap ke arah lain. Raut wajahnya menunjukkan kejengkelan luar biasa. Tapi tak ada mimik malu pada rupanya.

"Dasar Malin Kundang kau! Aku kutuk kamu!" Segala kepahitan di hatinya tumpah lewat mulut Sang Ibu.

Kereta berdecit dan berhenti di satu halte. Ule tak ingat nama tempatnya. Tak mendengar pula pengumuman yang biasanya didendangkan lewat pengeras suara kereta. Pertengkaran Ibu dan anak itu menyita perhatiannya.

Sang Ibu berdiri, meraih tasnya, lalu bangkit menuju pintu keluar. Tak sampai ia menjejakkan kaki di luar, tubuhnya mendadak lunglai. Seorang penumpang dekat pintu sempat menangkap tubuhnya sebelum terhempas.

Kali ini seisi gerbong riuh mengkhawatirkan nasib Sang Ibu. Sementara anak perempuannya tetap lengket pada kursinya. Hanya memandangi kejadian itu seolah tak mengenali perempuan yang pingsan itu sebagai orang yang melahirkannya.

Petugas di dalam kereta berlari-lari mendekati Sang Ibu. Lalu membopong tubuhnya ke luar untuk mencari pertolongan medis.

"Ada kerabat wanita ini?" Pekik petugas itu. Tak seorang pun menjawab.

Seisi gerbong kali ini menatap anak perempuan. Tapi perempuan muda itu pura-pura tak tahu.

Tubuh Sang Ibu dibawa keluar kereta. Terdengar peluit, tanda kereta akan melanjutkan perjalanan. Pintu tertutup otomatis. Kuda besi melaju kembali.

Sang Anak Perempuan tetap duduk tenang di tempatnya.

"Banyak cerita di kereta," kata Ule kepadaku, saat ia telah tiba di meja kantornya. Persis di samping kubikelku. "Kita pikir sinetron itu mengada-ada, tapi itu ada," celetuknya sambil menghela napas. Membuang sedikit kepedihan kala melihat Sang Ibu pingsan tanpa pertolongan anaknya.

Aku terdiam di depan layar monitor komputerku. Mencoba membayangkan seluruh kejadian itu terhampar di depanku.

Lalu aku menuliskannya di sini untuk kau baca. Supaya aku pun bisa berbagi padamu tentang nelangsa itu.



***
Nieke Indrietta

Senin, 06 Juni 2011

Love Letters: Rimba Kata


Pagi telah menjemputku, dengan kereta impian.
Ada nada-nada yang menari-nari dalam hatiku
saat aku menghirup udara hari baru.
Nada-nada yang menuntunku padaMu.
Ada bara hangat dalam tungku hatiku.
Yang membakar jiwaku untuk selalu rindu
mencari dan mendengar suara Kekasihku.
Dan saat merindu itu menggelegak tumpah ruah,
ribuan kata dalam surat cintaNya
melompat-lompat mendesak isi kepalaku.
Kadang kata-kata itu menjelma
menjadi angin puyuh yang mengobrak-abrik isi hatiku.
Mendobrak benteng dan keangkuhanku.
Satu waktu kata-kata itu menjadi selimut hangat
yang mendekap hati yang lara dan terluka.
Menyesap perih dan membuangnya.
Saat lain, kata-kata itu menjadi tamparan
menyentakkan ketika jalan sudah goyang
dan agak menyimpang.
Kala emosi yang mengendalikan.
Ribuan kata itu bisa singgah
dan jadi apapun yang bukan kamu mau,
tapi kamu butuh.
Rimba kata yang ditulis
dengan kasih ayah pada anaknya.

Kamis, 21 April 2011

Mempertanyakan Hari Kartini


Betapa terkesan meriah pagi ini. Membuka facebook, sejumlah orang menghiasi statusnya dengan mengucapkan selamat hari Kartini.

Lepas dari dunia maya, apabila Anda naik busway, terlihat sopir perempuan mengenakan pakaian adat. Sebuah situs menulis berita bahwa si sopir mengenakan baju Kartini.

Tak ketinggalan, apabila melewati jalanan, iring-iringan anak sekolah yang mengenakan pakaian adat.

Berikutnya... Sebuah pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun saat hari Kartini : kenapa dirayakan dengan perempuan mengenakan pakaian adat? Sedangkal itukah hari Kartini?

Coba tanya pada orang, apa yang mereka ingat dari sebuah perayaan hari Kartini. Jawabnya hampir sama : mengenakan pakaian adat. Atau, coba tanya, siapa Kartini? Perempuan dengan kebaya dan rambut digelung. Lantas apa?

Berapa yang menjawab bahwa hari ini adalah peringatan seorang perempuan yang mencoba memperjuangkan haknya, setara dengan kaum laki-laki?

Tak heran, sekian tahun, belum banyak kebijakan yang mendukung kemajuan perempuan di negeri ini. Saya tak menyangkal bahwa perempuan telah mendapat kursi di gedung Senayan, menjadi pejabat pemerintahan, menteri. Bahkan negara ini pernah mempunyai seorang presiden perempuan.

Tapi berapakah perempuan, yang digerakkan dengan kesadaran, untuk membuat kebijakan dan sesuatu yang bisa mentransformasi kehidupan perempuan?

Adakah jumlah perempuan pemegang kekuasaan sebanding dengan jumlah anak perempuan yang menjadi anak jalanan, korban penganiayaan, pelecehan seksual dan pemerkosaan? Adakah kebijakan yang membuat perubahan nyata pada grafik perdagangan perempuan (trafiking)?

Berapa perempuan yang punya kesadaran penuh bahwa mereka bukan warga kelas dua? Berapa perempuan yang sadar mereka bukan sekedar "dapur", "sumur", "kasur"? Berapa laki-laki yang--sebagai akibat kebijakan mendukung transformasi perempuan--kemudian memperlakukan perempuan dengan hormat dan layak? Berapa persen laki-laki yang memandang perempuan bukan sekedar obyek seks?

Bahkan, sebuah Undang-undang anti pornografi bisa menjadi sebuah bumerang untuk kaum perempuan.

Nyatanya, ketika saya berjalan dengan kemeja lengan panjang dan celana jeans, tidak meluputkan saya dari celotehan iseng dari laki-laki di pinggir jalan.

Nyatanya, perempuan dengan pakaian tertutup tak terhindar dari kekerasan.

Nyatanya, perempuan belum cukup dilindungi dalam kasus pelecehan seksual, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga.

Membayangkan semua itu, lagi-lagi, saya menelan ludah. Menghela napas. Sebuah bayangan yang masih melayang-layang di udara.

Dan ah.... Lelah pun mendera saya. Kartini, jika kau hidup hari ini, seperti apakah reaksimu?

Berang? Menggebrak meja di gedung Senayan? Mengusap airmata?

Saya mempertanyakan makna perayaan hari Kartini. Kartini berbicara tentang intelektualitas, nasionalisme, diskriminasi... BUKAN KEBAYA DAN KONDE.

Saya awali hari ini dengan panas yang menggigit kulit. Saya nikmati senja dengan laskar air dari langit. Saya tutup hari ini dengan pertanyaan-pertanyaan pelik.

Setidaknya saya tersenyum, ketika membaca sebuah tulisan ini :
"Dalam Tuhan, tidak ada perempuan tanpa laki-laki, dan laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatunya berasal dari Allah."

Lalu saya memejamkan mata dan mengangkat tangan saya. Saya tahu dan tahu, Dia tak pernah mengabaikan saya. Dia tahu nilai seorang perempuan.

***
-Nieke Indrietta-
Jurnalis, penulis yang perempuan, perempuan yang menulis, anti poligami.