Menu

Percik Kata Nieke

Jumat, 12 Oktober 2018

Traveling ke Wisata Agro Wonosari: Mengejar Fajar di Bukit Kuneer

Saya punya prinsip paling enggan mengejar laki-laki. Kalau ada cowok yang bersikap seolah ingin dikejar, babai deh (bye, bye). Jangan tanya kenapa. Sepertinya sudah jadi DNA saya. Lain halnya kalau saya disuruh memburu matahari. Momen sang raja tata surya ini menggeliat dari peraduan dan merebahkan dirinya, buat saya adalah hal yang romantis.

Pintu gerbang Bukit Kuneer dengan latar fajar merekah. Copyright: @katanieke








Alkisah, petualangan saya mencari sang surya diawali dengan perjalanan menuju ke lokasi Wisata Agro Wonosari, Lawang, Jawa Timur, pada awal Oktober 2018. Setelah dua jam perjalanan dari Surabaya, akhirnya saya tiba di kompleks wisata perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) tersebut. Saya berangkat pukul 15.00, sampai sekitar pukul 17.00. Begitu memasuki kompleks, saya terpukau melihat pemandangan kebun teh yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Hotel Rollaas, yang juga dikelola oleh badan usaha milik negara tersebut, terletak di tengah perkebunan. Terbayang kan, indahnya? Ohya, nama Rollaas berasal dari kata rolas, dalam bahasa Jawa berarti dua belas.  

"Kebun teh ini usianya 108 tahun, dulu dimiliki Belanda lalu sekarang dikelola PTPN XII," kata Cholis, dari Rollaas Hotel, awal Oktober 2018. 

Lobi Rollaas Hotel yang menyatu dengan alam,
tanpa pintu dan jendela. Copyright: @katanieke
Setelah meletakkan barang-barang di kamar hotel, saya segera menyambar kamera digital dan ponsel pintar untuk mengabadikan langit menjelang senja. Saat tiba di teras lantai dua, sudah ada beberapa tamu hotel lain yang ternyata punya pikiran sama dengan saya. Lukisan senja diapit dua bangunan kamar hotel yang saling berhadapan, serta taman yang berada di tengahnya.

Wah, bonus ini. Niatnya mencari fajar, berhadiah senja. Memandangi semburat merah jambu sambil menyeruput teh rempah, menghangatkan tubuh. Hawa dingin mulai menyergap seiring langit makin gelap. Suhunya mencapai sekitar 18 derajat celcius. Menjelang tengah malam, suhu lebih menggigit kulit.

Suasana senja dan taman Rollaas Hotel, dari lobi hotel.
Copyright: @katanieke
*
Saya gelisah malam itu. Bukan lantaran kasur yang kurang empuk, kamar yang tidak nyaman, atau hal lainnya. Tapi saya takut bangun kesiangan.  Saya menyetel alarm di ponsel agar berbunyi pukul 03.00 pagi. Menginjak tengah malam, tubuh saya sempat menggigil kedinginan. Padahal saya sudah mengenakan pakaian lengan panjang dan celana batik panjang serta membungkus tubuh dengan selimut kamar hotel yang tebal. Tangan saya menggapai jaket dan mengenakannya, lalu tertidur hingga alarm berbunyi. Mata sebenarnya ogah-ogahan terbuka. Namun niat mengejar fajar sudah bulat.

Berhubung saya sudah mandi sebelum tidur, subuh itu saya hanya membasuh wajah. Berlanjut dengan mengenakan kaus kaki berbahan wol, jaket, baju lapis dua. Suhu udara pagi itu mencapai 14-15 derajat celcius. Bergegas saya menuju lobi. Pukul 04.00, rombongan yang hendak melihat matahari terbit sudah berkumpul. Dari lobi saya bisa melihat sebuah truk terparkir di halaman depan.

Hati sempat bertanya-tanya. Tak lama, Cholis mengumumkan keberangkatan. Awalnya saya mengira rombongan akan diberangkatkan dengan mobil dengan roda besar yang biasa dipakai untuk off road atau jeep. Ternyata...

Naik truk pergi dan pulang dari Rollaas Hotel-Bukit Kuneer.
Copyright: @katanieke
"Yakin nggak mau naik truk? Mesti mencoba sensasi tikungan mesra di atas truk lho," ucapnya sambil bercanda, ketika orang-orang hampir naik mobil. 

Kontan semua berubah pikiran. Ajakan itu disambut dengan puluhan orang yang langsung mengantri naik truk, termasuk saya. Kapan lagi merasakan petualangan seperti ini? Tikungan mesra? Itu nggak seberapa dibanding kamu ditikung teman. Uhuk. 

Catatan, biasanya Rollaas Hotel menyediakan jeep untuk menuju ke Bukit Kuneer dengan kapasitas penumpang empat orang. Berhubung kali ini jumlah rombongan mencapai 40 orang, maka kami menumpang truk. Pada bagian akhir tulisan, akan saya sertakan beberapa paket wisata yang disediakan Wisata Agro Wonosari.

Pukul 04.15 truk mulai berjalan. Langit masih gelap. Saya mencoba mengabadikan pengalaman naik truk dengan kamera ponsel pintar, tapi sayang, hasilnya tak terlalu bagus lantaran tak ada cahaya. Mau mengeluarkan kamera digital, takut kameranya kenapa-kenapa lantaran tubuh seluruh penumpang terguncang-guncang. Jalanan menuju ke Bukit Kuneer belum beraspal. Banyak debu pasir dan batu-batu bergeronjal. 

Truk mengikuti jalanan berkelok dan makin naik ke atas. Ketika berbelok, tubuh kami doyong ke kanan dan ke kiri disertai tawa dan sorak gembira. Seperti naik wahana saja. Ow, ow, malah ada yang naik ke atas kepala truk. Tiga orang duduk di sana dengan santainya seolah mereka menunggangi lembu yang berjalan di tengah sawah. Ya kapan lagi bisa begini di alam bebas. Lantas bagaimana rasanya naik truk dan apa maksudnya tikungan mesra? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya menjawab dengan pertanyaan pula: pernah merasakan naik bajaj sewaktu di Jakarta? Bergetar-getar kan? Nah itu belum seberapa dibanding naik truk ini. Dalam skala level 1-10, kalau getaran bajaj itu level 4, maka getaran truk mencapai level 6. Dahsyat, kan?


Gambar dengan drone. Copyright: Indra @berangan_trip
Terima kasih sudah boleh memakai gambarnya
Tiba di Bukit Kuneer, langit sudah memancarkan semburat merah ronanya. Satu demi satu penumpang truk turun, mengeluarkan 'senjata' kamera dan ponsel, dan perburuan pun dimulai. Semua berpencar mencari tempat mesranya masing-masing untuk bercengkerama dengan Sang Fajar. Saatnya wakuncar (waktu kunjungan 'pacar'), Bro dan Sis. 
*
Bukit Kuneer terletak di ketinggian sekitar 1.100 mdpl (meter di atas permukaan laut), dikelilingi gunung-gunung: puncak gunung Arjuno, gunung Kawi, dan Semeru. Plus bukit Budug Asu. Bukit ini dan Arjuno terlihat seolah berdampingan. Apabila cuaca cerah, kita bisa memandang puncak Arjuno dari Kuneer. Sedang Budug Asu, kita bisa melihat jelas pepohonan dan semak-semaknya. Konon, bukit itu dinamai Budug Asu lantaran banyak banyak anjing berkeliaran di sana, juga macan. Kini, tempat itu kerap dijadikan lokasi Hash, yakni olahraga lintas alam. Sementara Kuneer, karena dulu perbukitan ini ditanami tanaman kunir.


Kebun teh di Bukit Kuneer dengan latar bukit Budug Asu.
Copyright: @katanieke
Pengelola Wisata Agro Wonosari membuat beberapa lokasi foto ala generasi milenial alias tempat selfie atau swafoto dan wefie atau foto bersama. Misalnya sebuah jembatan yang membentang panjang di tengah kebun teh, yang dinamai Jembatan Cinta. Bagian tengah jembatan itu berbentuk bujursangkar dengan ukuran lebih besar ketimbang bagian kiri dan kanan jalan jembatan. Sebuah semacam anyaman kayu berbentuk hati setinggi dua kaki terpajang. Disediakan untuk pengunjung yang ingin berpose. Bahkan, di seberang tempat berpose dengan anyaman hati tersebut, berjarak sekitar 3-4 meter, terdapat undakan kayu di atas pohon, untuk orang yang ingin memotret dari atas ke arah jembatan. 


Turis berpose di Jembatan Cinta dengan latar matahari terbit.
Copyright: @katanieke
Kala matahari baru merekah hangat, Jembatan Cinta merupakan salah satu titik lokasi yang asyik. Terlihat beberapa pengunjung yang memilih berada di jembatan ini dan berfoto dengan latar surya yang baru terbangun dari balik Semeru. Matahari beranjak perlahan, terlihat beberapa pemetik daun teh mulai bekerja. Apabila mengambil paket yang disediakan Rollaas Hotel, pengunjung bisa mengenakan caping dan menyangklong keranjang anyaman kayu--untuk wadah daun teh--di punggungnya. 

Di kebun Teh Wonosari, Bukit Kuneer, pengunjung juga bisa ikut belajar
memetik daun teh. Copyright: @katanieke
Foto dijepret oleh mas Cholis dari Rollaas Hotel pake kamera saya
Saya tak mau ketinggalan, dong. Sambil belajar memetik daun teh yang benar, saya juga ikut berpose. Ohya, banyak tawon di kebun. Salah satunya sempat hinggap di punggung lengan kanan. Saya cuekin. Lagian sepanjang tangan saya terbungkus jaket kecuali bagian jemari.  Kok ya lantas saya teringat sepotong lirik lagu dangdut ini: "Kumbang-kumbang di taman...." (kalau penasaran lagunya seperti apa, klik aja link di atas). Cuma sepotong lirik itu, thok, yang menyambar di ingatan

Kebun teh Wonosari di Bukit Kuneer.
Copyright: @katanieke
Setelah puas bermain-main di kebun teh, saya kembali ke gubug di depan gerbang kayu bertuliskan Bukit Kuneer, pintu masuk menuju lokasi. Di sana, polopendem sudah menanti. Udaranya cukup dingin. Saya bersyukur mengenakan jaket tebal dan kaos kaki. Belum lagi anginnya, wus wus wus. Hentakannya kencang. Makin menambah sensasi dingin  di tubuh. Tak salah jika saya kemudian memilih menyeruput teh rempah--teh dengan campuran jahe, kayu manis, dan kapulaga--yang disajikan, sambil makan singkong dan kacang rebus. Menjelang pukul 07.30, rombongan kembali ke Rollaas Hotel untuk sarapan pagi.

***
Nonton vlog saya waktu main-main ke Bukit Kuneer:


Tip Berkunjung ke Bukit Kuneer
  • Berangkatlah dari penginapan pukul 04.00 atau kurang dari itu, jika ingin membuat timelapse matahari terbit. 
  • Pastikan batere kamera dan ponsel terisi penuh
  • Kenakan jaket tebal, bila tubuh rentan dingin pakai kaos kaki
  • Jangan mengenakan wewangian apapun sebelum berangkat ke Bukit Kuneer. Soalnya di kebun teh banyak tawon. Wewangian mengundang tawon mendekati Anda
  • Jika ada tawon mendekat, bersikap tenang dan jangan mengusirnya. Nanti malah digigit
  • Jika tergigit tawon, segera melapor ke pemandu wisata. Ada obat-obatan dan klinik yang letaknya tidak jauh
  • Bawa masker. Sepanjang perjalanan menuju ke Bukit Kuneer dan kembali ke hotel banyak debu. Di Bukit Kuneernya sih tidak ada debu. Udaranya malah sejuk!
  • Bawa tisu basah untuk menyeka bagian tubuh apabila terkena debu
Salam jalan-jalan!
Nieke Indrietta
follow my IG: @katanieke

Suasana sekitar kebun teh Wonosari, Lawang.
Copyright: @katanieke

Papan kutipan untuk swafoto dan foto bersama
di Jembatan Cinta. Copyright: @katanieke
Lanjutan tulisan ini: Traveling ke Wisata Agro Wonosari: Mendadak Barista

Daftar Harga dari Wisata Argo Wonosari: